Nikmat Mampu Berbicara dan Menjelaskan
Sesungguhnya kenikmatan yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala berikan kepada hamba-hambanya tak terhitung dan tak terhingga banyaknya. Dan termasuk salah satu nikmat agung yang diberikan oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala kepada kita adalah nikmat mampu berbicara. Dengan kemampuan tersebut seseorang bisa mengutarakan keinginannya, mampu menyampaikan perkataan yang benar dan mampu beramar ma’ruf dan nahi mungkar.
Orang yang tidak diberi nikmat mampu berbicara, jelas dia tidak akan mampu melakukan hal di atas. Dia hanya bisa mengutarakan sesuatu dan memahamkan orang lain dengan isyarat atau dengan cara menuliskannya jika dia mampu menulis.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan Alloh membuat (pula) perumpamaan dua orang lelaki, yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban bagi penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan yang berada di atas jalan yang lurus?” (QS: An Nahl: 76)
Tentang tafsir ayat ini, ada yang mengatakan bahwasanya Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberikan permisalan perbandingan antara diri-Nya dengan berhala yang disembah. Ada pula yang mengatakan bahwa Alloh memberi permisalan antara orang kafir dan orang yang beriman.
Permisalan di atas secara jelas menerangkan bahwa seorang budak bisu yang tidak mampu memberikan manfaat kepada orang lain. Pemiliknya pun tidak mampu mengambil manfaat ketika dia membutuhkannya.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya apa yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan Terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.” (QS: Adz Dzariyat: 23)
Alloh Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan diri-Nya mengenai kepastian akan kedatangan hari kebangkitan dan pembalasan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana pastinya ucapan yang menjadi perwujudan dari orang yang berbicara. Pada ayat tersebut Alloh Subhanahu wa Ta’ala memaparkan sebahagian karunia-Nya yang berupa ucapan.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dia menciptakan manusia, dan mengajarinya berbicara.” (QS: Ar Rahman: 2-3)
AI Hasan AI Bashri menafsirkan bahwa al bayan (penjelasan) adalah berbicara. Jadi, Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan nikmat berbicara ini, karena dengan berbicara manusia bisa mengutarakan apa yang diinginkannya ..
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir?” (QS: AI Balad: 8-9)
Dalam kitab Tafsirnya, Ibnu Katsir menjelasan, Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala tersebut (Bukankah Kami telah memberiKan kepadanya dua buah mata), maksudnya dengan kedua mata tersebut dia mampu melihat. (dan lidah), yaitu dengan lidahnya dia mampu berbicara; mampu mengungkapkan apa yang tersimpan dalam hati nya. (dan kedua bibirnya), yaitu dengan kedua bibirnya dia dapat mengucapkan sebuah perkataan, atau memakan makanan; juga sebagai penghias wajah dan mulutnya.
Akan tetapi, kita tahu bahwa nikmat berbicara ini akan menjadi kenikmatan yang hakiki apabila digunakan untuk membicarakan hal-hal yang mendatangkan manfaat dan keselamatan. Dan sebaliknya apabila digunakan untuk perkara yang merusak, tentu hal itu justru akan menjadi musibah pemiliknya. Dalam keadaan seperti itu, lebih baik keadaannya bagi yang tidak diberi nikmat berbicara daripada seseorang yang diberikan nikmat tersebut tapi menggunakan nikmat berbicara ini untuk perkara yang jelek.
(Sumber Rujukan: Tafsir Ibnu Katsir dan berbagai sumber lainnya
http://situsislam.multiply.com/journal
Orang yang tidak diberi nikmat mampu berbicara, jelas dia tidak akan mampu melakukan hal di atas. Dia hanya bisa mengutarakan sesuatu dan memahamkan orang lain dengan isyarat atau dengan cara menuliskannya jika dia mampu menulis.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dan Alloh membuat (pula) perumpamaan dua orang lelaki, yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban bagi penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikan pun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan yang berada di atas jalan yang lurus?” (QS: An Nahl: 76)
Tentang tafsir ayat ini, ada yang mengatakan bahwasanya Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberikan permisalan perbandingan antara diri-Nya dengan berhala yang disembah. Ada pula yang mengatakan bahwa Alloh memberi permisalan antara orang kafir dan orang yang beriman.
Permisalan di atas secara jelas menerangkan bahwa seorang budak bisu yang tidak mampu memberikan manfaat kepada orang lain. Pemiliknya pun tidak mampu mengambil manfaat ketika dia membutuhkannya.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Demi Tuhan langit dan bumi, sesungguhnya apa yang dijanjikan itu adalah benar-benar (akan Terjadi) seperti perkataan yang kamu ucapkan.” (QS: Adz Dzariyat: 23)
Alloh Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan diri-Nya mengenai kepastian akan kedatangan hari kebangkitan dan pembalasan bagi seluruh umat manusia, sebagaimana pastinya ucapan yang menjadi perwujudan dari orang yang berbicara. Pada ayat tersebut Alloh Subhanahu wa Ta’ala memaparkan sebahagian karunia-Nya yang berupa ucapan.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Dia menciptakan manusia, dan mengajarinya berbicara.” (QS: Ar Rahman: 2-3)
AI Hasan AI Bashri menafsirkan bahwa al bayan (penjelasan) adalah berbicara. Jadi, Alloh Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan nikmat berbicara ini, karena dengan berbicara manusia bisa mengutarakan apa yang diinginkannya ..
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, yang artinya: “Bukankah Kami telah memberikan kepadanya dua buah mata, lidah dan dua buah bibir?” (QS: AI Balad: 8-9)
Dalam kitab Tafsirnya, Ibnu Katsir menjelasan, Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala tersebut (Bukankah Kami telah memberiKan kepadanya dua buah mata), maksudnya dengan kedua mata tersebut dia mampu melihat. (dan lidah), yaitu dengan lidahnya dia mampu berbicara; mampu mengungkapkan apa yang tersimpan dalam hati nya. (dan kedua bibirnya), yaitu dengan kedua bibirnya dia dapat mengucapkan sebuah perkataan, atau memakan makanan; juga sebagai penghias wajah dan mulutnya.
Akan tetapi, kita tahu bahwa nikmat berbicara ini akan menjadi kenikmatan yang hakiki apabila digunakan untuk membicarakan hal-hal yang mendatangkan manfaat dan keselamatan. Dan sebaliknya apabila digunakan untuk perkara yang merusak, tentu hal itu justru akan menjadi musibah pemiliknya. Dalam keadaan seperti itu, lebih baik keadaannya bagi yang tidak diberi nikmat berbicara daripada seseorang yang diberikan nikmat tersebut tapi menggunakan nikmat berbicara ini untuk perkara yang jelek.
(Sumber Rujukan: Tafsir Ibnu Katsir dan berbagai sumber lainnya
http://situsislam.multiply.com/journal
0 komentar:
ur coment