Bertobat dari Cinta Dunia

oleh Mashadi Kamis, 06/08/2009 16:49 WIB
Apa yang menjadi penyebab kesediaan Hubaib Abi Muhammad menghadapi kematian adalah kehadirannya di majelis ilmu Hasan al-Basry. Di mana nasihatnya itu berhasil merasuk ke dalam relung-relung hati sanubarinya. Sehingga Hubaib meninggalkan segala apa yang dilakukannya selama di dunia ini. Karena, dia yakin kepada Allah dan puas dengan jaminan-Nya.
Kemudian, Hubaib Abi Muhammad membeli dirinya dari Allah dengan berderma sebanyak empat puluh ribu dirham dalam empat kali :
Pertama, sepuluh ribu dirham dimulainya dipagi hari, saat dimulainya kehidupan ini, seraya dia berkata, “Wahai Tuhan, dengan derma ini aku beli diriku dari-Mu”.
Kedua, sepuluh ribu dirham saat di siang hari, dan seraya dia bekata , “Derma ini sebagai ungkapan syukur atas taufik-Mu kepadaku”.
Ketiga, sepuluh ribu dirham pula, diwaktu menjelang sore hari, seraya dia berkata, “Wahai Tuhan, jika Engkau belum mau menerima dermaku yang pertama dan yang kedua itu, maka terimalah yang ketiga ini”, do’anya.
Keempat, juga sepuluh ribu dirham saat menjelang petang, seraya dia berkata, “Wahai Tuhan, jika Engkau menerima yang ketiga itu, maka inilah derma yang keempat sebagai ungkapan rasa syukur”, tambahnya.
Sejak itu, Hubaib tak pernah lagi memikirkan harta yang dimilikinya, dan dia selalu tak pernah melupakan hubungannya dengan Allah Ta'ala, dan beribadah siang dan malam, sampai saat ajalnya tiba, di malam hari, dan tidak ada yang tahu, ketika dia meninggal.
Wajah Hubaib tersenyum, ketika para shahabat menjenguknya. Hubaib meninggal dengan meninggalkan dunia (harta) yang selama ini menghalanginya mengingat kepada Allah. Wallahu’alam.
sumber: era muslim

0 komentar:

ur coment

Pengemis Tua Dan Zakat

oleh Galih Ari Permana Minggu, 23/08/2009 16:16 WIB
Dalam sebuah perjalanan pulang, tapatnya di belakang stasiun Tambun saya melihat seorang kakek tengah berdiri di tengah terik panas. Kondisi fisik yang sudah tidak lagi bugar, kulitnya yang keriput semakin legam karana sengatan matahari.
Jika diperhatikan sang kakek ini mempunyai kelainan pada salah satu panca inderanya. Saya melihat matanya selalu terpejam. Saya berasumsi bahwa sang kakek ini adalah tuna netra.
Sang kakek terus berdiri sembari menggenggam sebuah kaleng dan disodorkannya ke depan. Dengan mudah bisa ditebak apa yang sedang dilakukan oleh sang kakek itu yang tiada lain sedang meminta-minta belas kasih dari orang-orang yang lalu lalang. Harapan sang kakek cukup sederhana yaitu mendapatkan sejumlah uang yang dimasukan ke dalam kaleng guna mencukupi kebutuhannya.
Sang kakek ternyata tidak sendiri. Saya melihat seorang wanita yang juga sudah berumur senja sedang duduk menyandar pada sebuah lapak yang kosong. Letak lapak persis berada di belakang sang kakek berdiri. Tampak raut letih menghiasai wajah sang nenek. Dengan duduk menyandar sambil menjulurkan kedua kakinya sang nenek seperti berharap agar letihnya bisa berkurang.
Kondisi sepasang sejoli yang sudah berusia senja itu cukup memperihatinkan. Pakaian lusuh, fisik yang sudah tidak bugar lagi membuat usia senjanya bak nestapa. Sungguh perjalanan di akhir waktu yang kurang bahagia.
Terpikir oleh saya kemanakah anak-anak dari kakek dan nenek itu? Begitu teganya kah mereka membiarkan orang tuanya mengais rezekinya sendiri ditengah kondisi fisik yang sudah tidak bugar lagi? Atau mungkin kakek dan enenk itu tidak mempunyai keturunan?
Entahlah, yang jelas empati itu timbul dalam hatiku ini. Sungguh berbeda dengan sebagian orang yang sedang berada di usia senja dimana mereka sedang menikmati usia senjanya dengan nyaman. Ada yang menikmati kasih sayang dari anak-anaknya, ada yang menikmati penghasilan pensiunnya, ada juga yang sedang berbahagia dengan hasil usaha yang sudah dirintisnya ketika di usia muda.
Yang menjadi pertanyaan lagi dalam pikiran saya apakah kakek dan nenek itu masih menjalankan ibadah paling tidak shalat yang 5 waktu? Sulit bagi saya untuk meyakini bahwa mereka masih menjalankannya. Saya menyadari kehidupannya yang sulit sangat menyita waktu dan tenaga.
Mereka hanya berfikir bahwa hari ini saya harus makan dan untuk mendapatkannya saya harus mengais rezeki dari pagi hingga petang. Padahal apa yang didapat dari hasil mengemis saya pikir tidaklah sebanding dengan tenaga yang dikeluarkannya. Istilahnya boro-boro untuk shalat untuk menghilangkan rasa lapar di perut saja mebutuhkan perjuangan yang berat. Namun semoga pikiran saya ini tidaklah tepat.
Seharusnya kakek dan nenek itu dapat menikmati usia senjanya itu dengan nyaman dan bahagia sama seperti orang-orang yang seusianya yang lain. Seharusnya pula pemerintah bertanggung jawab atas kehidupan mereka seperti yang termaktub dalam UUD 1945 bahwa fakir miskin itu dipelihara oleh negara. Namun pada kenyataanya tidaklah demikian.
Saya teringat satu hal yang sebenarnya bisa membantu orang-orang seperti kakek dan nenek itu. Zakat, ya, salah satu kewajiban yang terdapat dalam rukun Islam.
Dalam Islam ada perintah bahwa harta itu tidak boleh berputar pada sekelompok orang. Islam mengajarkan bahwa harta itu haruslah mengalir pada semua kelompok terutama pada fakir dan miskin. Oleh karena itu Islam memerintahkan kewajiban zakat bagi siapa saja orang Islam yang menjadi wajib zakat.
Berdasarkan hasil survey bahwa potensi zakat di Indonesia bisa mencapai 19 trilyun per tahunnya. Sungguh angka yang cukup tinggi dan bisa dipergunakan untuk banyak hal yang bermanfaat jiak bisa dioptimalkan pengumpulannya.
Namun sayang kesadaran akan zakat belum terlalu besar. Besarnya potensi zakat belum diimbangi dengan tingkat kesadaran umat Islam untuk menjalankan kewajiban ini. Pada tahun 2008 zakat yang berhasil dikumpulkan baru mencapai 900 milyar (http://www.antara.co.id/view/?i=1235991716&c=NAS&s=) sungguh angka yang masih relatif kecil jika dibandingkan dengan potensinya.
Zakat sesungguhnya berguna untuk menekan angka kemiskinan. Zakat sesungguhnya berguna untuk menjembatani kesenjangan sosial yang ada. Seandainya potensi zakat itu tercapai maka kakek dan nenek itu tidak perlu berdiri sepanjang hari melawan terik hanya untuk mendapatkan beberapa koin uang receh.
Mengeluarkan 2.5% dari harta yang dimiliki tidaklah bergitu berarti karena kita masih mempunyai 97.5% sisanya. Bahkan janji Allah SWT bahwa Dia akan melipat gandakan harta yang 2.5% itu. Selain sebagai pembersih harta Allah juga akan menghapus dosa-dosa kita. Artinya bukanlah suatu kerugian jika harus menunaikan zakat melainkan kita akan meraup keuntungan yang berlimpah.
Tetapi memang karakter manusia itu cenderung pelit apabila mengenai materi. Kekhawatiran jatuh miskin menjadi halangan untuk mengeluarkan sebagian rezekinya yang pada hakikatnya barasal dari Allah SWT.
Menjalankan perintah yang menjadi kewajiban memang tidak mudah dan penuh godaan apalagi yang menyangkut materi keduniaan. Saya teringat dengan sebuah sajak WS Rendra yang cukup menggugah hati.
Renungan Indah
W.S. Rendra
Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini
hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya : mengapa Dia menitipkan padaku ???
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ???
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ???
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil,lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan, seolah semua "derita" adalah hukum bagiku
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah.
"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja".....

Semoga pada Ramadhan kali ini menjadi syahrul Tarbiyah dimana Allah akan melapangkan hati ini untuk dapat berbagi dengan sesama.
Perumpamaan (nafkah yang di keluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah. Adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir, seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siap yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 2:261)
Sumber: era muslim

0 komentar:

ur coment

Nikmatnya Berbuka di Istana Ain Syams

oleh M. Arif As-Salman Senin, 24/08/2009 07:46 WIB
Kemaren-Ahad, 23 Agustus 2009- saya mesti pulang lebih cepat dari biasanya. Ada undangan ifthar jama`iy (berbuka puasa bersama) di rumah Ain Syams. Sore itu, seperti biasa setelah mengembalikan beberapa buku yang dipinjam sejak satu minggu yang lalu, saya kembali mencari-cari buku yang akan dibaca untuk satu minggu ke depan. Begitulah, sekali seminggu saya menjadwalkan berkunjung ke PMIK (Perpustakaan Mahasiswa Indonesia di Kairo) untuk meminjam beraneka buku bacaan.
Menikmati puasa Ramadhan di negeri orang memang terasa beda dengan di negeri sendiri. Serasa ada yang kurang lengkap. Ya, tidak bisa sahur dan berbuka bersama keluarga. Tapi, walau demikian kekurangan itu dapat terwakili dengan berbuka bersama teman-teman serumah dan dengan istri bagi yang telah menikah. Hidup di rantau memang butuh banyak pengorbanan, perjuangan serta kesabaran tangguh.
Menjelang azan maghrib berkumandang saya bersama istri dan buah hati kami yang kini telah menginjak usia 9 bulan berangkat menuju rumah Ain Syams yang letaknya tidak jauh dari rumah kami-sekitar 10 menit dengan berjalan kaki-. Rumah itu terletak di samping mesjid Saqar Qurays, di Madinah Nasr, Kairo.
Sesampai di sana kami disambut dengan senyum mesra oleh tuan rumah-orang tua Ain Syams-. Ada kebahagiaan tulus yang terpancar dari raut muka mereka, kebahagiaan karena tamu yang diundang telah bersedia datang. Rumah Ain Syams terlihat sudah dipadati banyak tamu, sehingga kami yang laki-laki harus masuk ke ruang dalam, karena ruang tengah diisi oleh ibu-ibu dan tamu-tamu wanita.
Saya sangat bersyukur bisa bertemu dengan sahabat-sahabat dan saudara-saudara yang selama ini cukup jarang bertemu, karena berbagai kesibukan perkuliahan dan lainnya. Ini merupakan sebuah moment yang sangat indah dan berharga. Kesempatan untuk menumpahkan kerinduan, berbagi cerita, dan pengalaman.
Pertemuan-pertemuan seperti itu begitu berarti. Ia umpama obat kerinduan terhadap saudara-saudara yang sekian lama tidak bertatap muka. Jamuan ukhuwah yang sanggup mempererat ikatan batin dan mempererat rasa persaudaraan. Bertemu dalam ketaatan dan dalam rangka saling mencintai karena Allah swt.
Tak terasa perbincangan pelepas dahaga rindu terhenti oleh azan maghrib yang berkumandang di mesjid dekat rumah Ain Syams. Tuan rumah segera menghidangkan menu berbuka. Terasa segarnya kerongkongan ketika meneguk air teh manis dingin. Ragam menupun tersedia, seperti korma, bakwan, dan agar-agar. Para tamu tinggal memilih. Tapi, bakwan cukup menjadi hidangan favorit, karena menu ke-indonesiaannya.
Usai berbuka secukupnya, tamu laki-laki shalat maghrib berjamaah di mesjid. Tamu-tamu tersebut sangat paham akan pentingnya menjaga shalat lima waktu berjamaah di mesjid. Apalagi sangat banyak hadits-hadits yang menerangkan keutamaan shalat berjamaah di mesjid, terutama pada bulan Ramadhan, Allah akan melipat gandakan pahala amalan hamba-hamba-Nya.
Setelah melaksanakan shalat maghrib di mesjid, para tamu kembali ke rumah Ain Syams untuk menikmati hidangan yang telah disiapkan. Semarak berbuka sungguh begitu terasa. Ditambah lagi obrolan-obrolan tentang berbagai informasi terbaru yang berkembang. Yang satu bercerita, yang lain pun tak kalah bercerita. Seolah-olah setiap orang ingin berbagi informasi yang ia dapatkan.
Begitulah, suasana keakraban dan kekeluargaan bergema dan menyatu dalam pertemuan itu. Ada senyum yang mengembang, ada tawa yang riang, ada cerita-cerita menarik, ada informasi-informasi, dan lain-lainnya.
Tak terasa waktupun terus berlalu, makanan yang dihidangkan satu persatu telah disantap para tamu, sehingga hampir tidak ada yang tersisa. Sebelum para tamu pulang, tuan rumah meminta salah seorang tamu untuk memberikan kata sambutan dan membaca doa untuk tuan rumah. Saat itu Ust. Zulfi Akmal sebagai perwakilan tamu mengucapkan terima kasih banyak atas jamuannya, "Semoga Allah memberikan balasan pahala", ucap beliau. Dan Ust. Sami diminta membacakan doa untuk kebaikan tuan rumah, tamu-tamu yang hadir, dan segenap kaum muslimin.
Pertemuan singkat hari itu begitu bermakna. Ada banyak motivasi yang tersirat di dalamnya. Saya merasa kalah dari tuan rumah, kalah dalam berlomba-lomba untuk kebaikan. 'Istana' Ain Syams seolah menjadi pelopor pertama mengadakan berbuka puasa bersama, sebelum yang lain mengadakan. Semangat ini yang perlu dicontoh dan diteladani, semangat untuk memulai melakukan sunnah hasanah.
Bahkan dalam sebuah kata hikmah disebutkan, "Keutamaan terletak pada orang yang memulai, walau orang yang mengikuti setelahnya lebih baik."
Saya sudah bisa membayangkan berapa banyak pahala yang akan mengalir pada orang tua Ain Syams. Dalam sebuah hadits Rasulullah saw, dari Zaid bin Khalid al-Juhani r.a, bahwasanya Nabi saw bersabda, "Barangsiapa yang memberi makan -untuk berbuka- orang yang berpuasa, baginya pahala -seperti yang didapatkan- orang yang berpuasa itu, dan pahala itu tidak mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut sedikitpun." (HR. At-Tirmidzi : 3/162, no. 807)
Begitu besar pahala yang akan didapatkan, semakin banyak dan semakin mulia tamu yang hadir akan semakin bertambahlah pahala yang akan diraih.
Di sisi lain, perjamuan singkat itu begitu sanggup merekatkan ikatan ukhuwah yang selama ini mulai renggang karena jarangnya pertemuan disebabkan berbagai kesibukan di kuliah dan lainnya. Inilah majlis yang akan mendatangkan kebaikan bagi seorang hamba di akhirat kelak; majlis yang terangkai karena saling mencintai karena Allah swt.
Semoga ada hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik, insya Allah.
Salam dari Kairo,
sumber: era muslim

0 komentar:

ur coment