Pengemis Tua Dan Zakat

oleh Galih Ari Permana Minggu, 23/08/2009 16:16 WIB
Dalam sebuah perjalanan pulang, tapatnya di belakang stasiun Tambun saya melihat seorang kakek tengah berdiri di tengah terik panas. Kondisi fisik yang sudah tidak lagi bugar, kulitnya yang keriput semakin legam karana sengatan matahari.
Jika diperhatikan sang kakek ini mempunyai kelainan pada salah satu panca inderanya. Saya melihat matanya selalu terpejam. Saya berasumsi bahwa sang kakek ini adalah tuna netra.
Sang kakek terus berdiri sembari menggenggam sebuah kaleng dan disodorkannya ke depan. Dengan mudah bisa ditebak apa yang sedang dilakukan oleh sang kakek itu yang tiada lain sedang meminta-minta belas kasih dari orang-orang yang lalu lalang. Harapan sang kakek cukup sederhana yaitu mendapatkan sejumlah uang yang dimasukan ke dalam kaleng guna mencukupi kebutuhannya.
Sang kakek ternyata tidak sendiri. Saya melihat seorang wanita yang juga sudah berumur senja sedang duduk menyandar pada sebuah lapak yang kosong. Letak lapak persis berada di belakang sang kakek berdiri. Tampak raut letih menghiasai wajah sang nenek. Dengan duduk menyandar sambil menjulurkan kedua kakinya sang nenek seperti berharap agar letihnya bisa berkurang.
Kondisi sepasang sejoli yang sudah berusia senja itu cukup memperihatinkan. Pakaian lusuh, fisik yang sudah tidak bugar lagi membuat usia senjanya bak nestapa. Sungguh perjalanan di akhir waktu yang kurang bahagia.
Terpikir oleh saya kemanakah anak-anak dari kakek dan nenek itu? Begitu teganya kah mereka membiarkan orang tuanya mengais rezekinya sendiri ditengah kondisi fisik yang sudah tidak bugar lagi? Atau mungkin kakek dan enenk itu tidak mempunyai keturunan?
Entahlah, yang jelas empati itu timbul dalam hatiku ini. Sungguh berbeda dengan sebagian orang yang sedang berada di usia senja dimana mereka sedang menikmati usia senjanya dengan nyaman. Ada yang menikmati kasih sayang dari anak-anaknya, ada yang menikmati penghasilan pensiunnya, ada juga yang sedang berbahagia dengan hasil usaha yang sudah dirintisnya ketika di usia muda.
Yang menjadi pertanyaan lagi dalam pikiran saya apakah kakek dan nenek itu masih menjalankan ibadah paling tidak shalat yang 5 waktu? Sulit bagi saya untuk meyakini bahwa mereka masih menjalankannya. Saya menyadari kehidupannya yang sulit sangat menyita waktu dan tenaga.
Mereka hanya berfikir bahwa hari ini saya harus makan dan untuk mendapatkannya saya harus mengais rezeki dari pagi hingga petang. Padahal apa yang didapat dari hasil mengemis saya pikir tidaklah sebanding dengan tenaga yang dikeluarkannya. Istilahnya boro-boro untuk shalat untuk menghilangkan rasa lapar di perut saja mebutuhkan perjuangan yang berat. Namun semoga pikiran saya ini tidaklah tepat.
Seharusnya kakek dan nenek itu dapat menikmati usia senjanya itu dengan nyaman dan bahagia sama seperti orang-orang yang seusianya yang lain. Seharusnya pula pemerintah bertanggung jawab atas kehidupan mereka seperti yang termaktub dalam UUD 1945 bahwa fakir miskin itu dipelihara oleh negara. Namun pada kenyataanya tidaklah demikian.
Saya teringat satu hal yang sebenarnya bisa membantu orang-orang seperti kakek dan nenek itu. Zakat, ya, salah satu kewajiban yang terdapat dalam rukun Islam.
Dalam Islam ada perintah bahwa harta itu tidak boleh berputar pada sekelompok orang. Islam mengajarkan bahwa harta itu haruslah mengalir pada semua kelompok terutama pada fakir dan miskin. Oleh karena itu Islam memerintahkan kewajiban zakat bagi siapa saja orang Islam yang menjadi wajib zakat.
Berdasarkan hasil survey bahwa potensi zakat di Indonesia bisa mencapai 19 trilyun per tahunnya. Sungguh angka yang cukup tinggi dan bisa dipergunakan untuk banyak hal yang bermanfaat jiak bisa dioptimalkan pengumpulannya.
Namun sayang kesadaran akan zakat belum terlalu besar. Besarnya potensi zakat belum diimbangi dengan tingkat kesadaran umat Islam untuk menjalankan kewajiban ini. Pada tahun 2008 zakat yang berhasil dikumpulkan baru mencapai 900 milyar (http://www.antara.co.id/view/?i=1235991716&c=NAS&s=) sungguh angka yang masih relatif kecil jika dibandingkan dengan potensinya.
Zakat sesungguhnya berguna untuk menekan angka kemiskinan. Zakat sesungguhnya berguna untuk menjembatani kesenjangan sosial yang ada. Seandainya potensi zakat itu tercapai maka kakek dan nenek itu tidak perlu berdiri sepanjang hari melawan terik hanya untuk mendapatkan beberapa koin uang receh.
Mengeluarkan 2.5% dari harta yang dimiliki tidaklah bergitu berarti karena kita masih mempunyai 97.5% sisanya. Bahkan janji Allah SWT bahwa Dia akan melipat gandakan harta yang 2.5% itu. Selain sebagai pembersih harta Allah juga akan menghapus dosa-dosa kita. Artinya bukanlah suatu kerugian jika harus menunaikan zakat melainkan kita akan meraup keuntungan yang berlimpah.
Tetapi memang karakter manusia itu cenderung pelit apabila mengenai materi. Kekhawatiran jatuh miskin menjadi halangan untuk mengeluarkan sebagian rezekinya yang pada hakikatnya barasal dari Allah SWT.
Menjalankan perintah yang menjadi kewajiban memang tidak mudah dan penuh godaan apalagi yang menyangkut materi keduniaan. Saya teringat dengan sebuah sajak WS Rendra yang cukup menggugah hati.
Renungan Indah
W.S. Rendra
Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini
hanyalah titipan
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya
Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya : mengapa Dia menitipkan padaku ???
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ???
Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ???
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku ?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?
Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
Kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja untuk melukiskan kalau itu adalah derita
Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku
Aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil,lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan, seolah semua "derita" adalah hukum bagiku
Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika :
aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.
Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan kekasih
Kuminta Dia membalas "perlakuan baikku", dan menolak keputusan-Nya yang tak sesuai keinginanku
Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanya untuk beribadah.
"Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja".....

Semoga pada Ramadhan kali ini menjadi syahrul Tarbiyah dimana Allah akan melapangkan hati ini untuk dapat berbagi dengan sesama.
Perumpamaan (nafkah yang di keluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah. Adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir, seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siap yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. 2:261)
Sumber: era muslim

0 komentar:

ur coment