Melatih Diri Agar Senantiasa Berprasangka Baik

Oleh Endang TS Amir


Belum lama ini, aku mendengar berita miring tentang sikap tidak amanah seorang ikhwan. Atas berita itu, aku merasa kecewa kepada ikhwan tersebut. Aku menjadi tidak respek padanya. Aku terus ‘ngedumel’ dalam hati. Kok bisa ya, padahal jenggotnya panjang, istrinyapun memakai jilbab lebar. Aku terus berpikir, penampilan dan cara berpakaiannya menunjukkan sang ikhwan paham agama. Kok sampai?...
Cukup lama aku tenggelam dalam pikiran buruk tentang ikhwan itu. Hingga akhirnya, Allah mempertemukan kami dan kami terlibat perbincangan cukup lama. (Tentu saja ikhwan tersebut didampingi istrinya). Dari perbincangan itu, rasa respekku yang memudar akibat berita miring itu, perlahan-lahan tumbuh lagi. Dan tak henti-hentinya aku beristighfar di dalam hati di sela-sela perbincangan kami.
Akupun bersyukur kepada Allah. Dengan skenarioNya, Allah melindungiku dari prasangka buruk yang berkelanjutan terhadap saudara seiman. Dan atas kehendakNya, Allah bersihkan ikhwan tersebut dari segala dugaan-dugaan yang tidak benar melalui ‘perbincangan’ kami. Karena dari perbincangan itulah, aku jadi lebih paham tentang dirinya, bahwa sesungguhnya orang-orang salah sangka terhadap ikhwan ini.
***
Aku memiliki tetangga yang sudah bertetangga denganku lebih dari satu tahun-tetangga tesebut baru pindah ke komplek tempat kami tinggal. Jarak rumah kami sungguh dekat. Tapi aku belum pernah bertemu dengan penghuni rumah tersebut, apalagi ‘ngobrol’. Dan setiap aku lewat di depan rumahnya, kulihat pintu gerbangnya selalu di gembok. Kadang aku lihat mobilnya wara-wiri di depan rumah, dan kami hanya saling berlambaian tangan, dan itulah ‘komunikasi’-ku dengan tetanggaku itu. Terbersit dalam hati, kok begitu ya caranya bertetanggga. Sepertinya nggak mau ‘kenal’ orang. Nggak pernah ‘nenangga’, rumah juga tertutup rapat terus.
Seminggu yang lalu, tetanggaku ini menghubungiku, ia minta tolong agar dicarikan tenaga pembantu plus guru ngaji di rumahnya. Karena urusan tersebut, aku jadi berkesempatan berkunjung ke rumahnya. Dan dari kunjungan itulah, aku jadi lebih paham, mengapa ia tidak pernah ‘nenangga’, mengapa pintu rumah tertutup rapat dan pintu gerbang senantiasa digembok. Ternyata, si ibu ini memiliki 4 anak. 1 sudah belasan tahun dan 3 orang masih balita. Dan anak kedua yang berumur 5 tahun, berkebutuhan khusus. Masya Allah, pantas saja, ia tidak bisa bebas keluar rumah, pantas saja, rumah harus terus tertutup rapat (anaknya yang berkebutuhan khusus, tidak bisa melihat rumah terbuka).
Alhamdulillah…aku bersyukur, sekali lagi, Allah melindungiku dari prasangka buruk yang berkelanjutan. DiciptakanNya scenario, yang membuat aku dapat silahturrahim ke tetanggaku tersebut sehingga aku mendapat jawaban atas prasangka-prasangka burukku.
***
Dua pengalaman berharga yang membuat aku tersadar diri. Kita memang benar-benar tidak boleh berprasangka buruk. Jikapun kita menyaksikan sikap atau sifat seseorang “yang tidak mengenakkan”, kita tetap harus berpikir positif. Menyikapinya dengan cara pandang yang positif. Berusaha melihat, mungkin ada alasan yang dapat diterima, mengapa si A bersikap begini atau begitu.
Sebagai contoh, ada seorang ummahat yang kemudian diberi label “keras dan mau menang sendiri”. Pada mulanya aku sendiri agak tidak nyaman dengan sikapnya. Berangkat dari kesadaran tidak ingin berpikir buruk tentang orang lain, aku sedikit-sedikit mencari tahu tentang dirinya, berusaha lebih dekat dengannya. Walhasil, terjawablah teka-teki, kenapa sang ummahat yang terlihat paham agama, lulusan pesantren, tetapi “keras dan mau menang sendiri”. Ternyata, Ummahat ini berasal dari sebrang. Orangtuanya hingga kini masih hidup dan bukan penganut agama islam. Kemudian ia tinggalkan keluarganya demi memeluk islam. Sebagaimana diketahui, orang sebrang memiliki hubungan kekerabatan yang kuat dan erat. Bukan perkara mudah “pergi” meninggalkan orangtua dan kemudian berpindah agama. Justru dengan sikap keras dan mau menang sendirinya itulah yang membuat sang ummahat “kuat” meninggalkan orangtua dan agama nenek moyangnya demi Islam. Artinya, secara pribadi memang ia typical orang yang “keras”. Jika dilihat dari latar belakangnya, justru sifat “keras” itu yang menjadi kelebihannya.
Pada umumnya kita semua tahu bahwa berprasangka buruk itu dilarang. Tetapi, dalam keseharian kita, betapa sulit menghindar dari perilaku ini. Prasangka artinya membuat ‘keputusan’ sebelum mengetahui fakta yang relevan mengenai objek tersebut. Padahal Allah berfirman,”Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka! Karena sebagian dari prasangka itu adalah dosa.” (QS. Al-Hujurat [49] : 12)
Dan Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, ” Jauhkanlah dirimu dari prasangka buruk, karena sesungguhnya prasangka itu adalah perkataan yang paling bohong.” (HR. Muttafaq’alaih)
Mustinya peringatan Allah tentang dosanya berprasangka buruk cukup membuat kita berhenti dari perbuatan tersebut. Berprasangka buruk, berkaitan erat dengan pola pikir negatif. Ketika menyikapi sebuah masalah atau kejadian, mindset kita tertuju kepada hal-hal yang buruk. Jadi hasilnya adalah prasangka-prasangka buruk yang berkembang. Dan ini harus dibenahi.
Saya menulis artikel inipun dengan niat, semoga tulisan ini menjadi tausiah pribadi. Semoga tulisan ini menjadi pengingat bagi saya ketika, prasangka-prasangka buruk memenuhi hati dan pikiran.
Wallahu’alam.
Ummuali.wordpress.com

2 komentar:

ur coment