Istri Shalihah Penyejuk Hati

Oleh Ali Mustofa

Cinta adalah fitrah pada manusia. Ketika cinta itu bersemi, maka dunia akan menjadi begitu indah. Ada yang bilang ”dunia serasa milik berdua, sedang yang lain cuma ngontrak”. Cinta yang suci akan membuat ia semakin dekat dengan Allah, karena memang cinta seperti ini dilandasi atas dasar cinta karena Allah. Sebaliknya cinta yang tidak suci akan semakin menjauhkan ia dengan Rabbnya.
Seorang pria tentunya mendambakan seorang wanita yang baik untuk menjadi pendamping hidupnya. Yang menaatinya, mampu mengurusi urusan rumah tangga, mendidik anak, sebagai sekretaris sang suami, dan lain-lain. Wanita shalihah yang akan berusaha selalu tampil mempesona ketika dihadapannya. Hal ini digambarkan oleh Rasulullah Saw:
Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah Saw bersabda “Sebaik-baik wanita adalah yang menawan hatimu bila engkau pandang, taat manakala engkau perintah, dan menjaga hartamu serta memelihara kehormatan diri-nya ketika engkau tidak ada di rumah.”(HR. Ibnu Jarir dan Al-Baihaqi).
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Tidak ada kewajiban yang harus ditunaikan oleh wanita, setelah hak Allah dan Rasul-Nya, yang lebih wajib daripada hak suami” (Majmu’ Fatawa. 32/260). Ketaatan istri ini adalah dalam rangka menaati Allah dan Rasul-Nya.
Bagi para pengemban dakwah, mereka ingin seorang pendamping yang juga siap men-support suaminya dalam melakukan tugas dakwah. Yang siap menghadapi resiko apapun ketika menghadapi tantangan-tantangan dakwah, yang tidak terlalu banyak menuntut, pandai bersyukur dan penuh kesabaran. Disamping itu ia juga tidak melupakan tugas dakwahnya. Istri yang akan menjadi pakaian dalam hidupnya.
Istri yang siap mengikhlaskan suaminya jika hendak pergi berjihad, bahkan kalau diperlukan ia juga ikut turut serta dalam medan Jihad. Sebagaimana para sahabiyah dahulu. Bukhari telah memberitakan dari Anas ra. dia berkata: “Pada hari peperangan Uhud ramai orang Islam yang terkocar-kacir dan terpisah dari Nabi Saw Dan aku lihat Aisyah binti Abu Bakar dan Ummi Sulaim tergesa-gesa membawa kantung Qirbah (terbuat dari kulit kambing) yang berisi air, memberi minum orang-orang yang dahaga dalam pertempuran itu. Sesudah habis mereka pergi lagi mengisi air dan memberi minum kepada tentara Islam yang berperang itu.” (Baihaqi 9:30).
Ibnu Abbas pernah mengatakan pasangan hidup yang sholeh (Al-azwaju shalihah) merupakan salah satu dari 7 indikator kebahagiaan dunia. Sungguh, istri yang shalihah adalah idaman bagi para pria, karena memiliki istri yang shalihah merupakan perhiasan paling baik dari dunia beserta isinya. “Dunia ini adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah istri yang shalihah”. (HR. Muslim, Ibnu Majah).
Bagi para pria termasuk saya, berusahalah untuk menjadi pria yang shalih, sehingga pantas mendapatkan istri yang shalihah. Yang siap menunaikan kewajibannya sebagai suami, sebagai imam yang tangguh dan terpercaya.

sumber: eramuslim.com

0 komentar:

ur coment

Puasa membawanya kepada HIDAYAH ISLAM

by: suharyantoharyanto
 
Entah mengapa saya selalu terharu jika membaca kisah-kisah mu’alaf. Seandainya saya terlahir bukan dari keluarga muslim, apakah saya akan menemukan hidayah ?

Kisah ini saya kutip dari Swaramuslim.com, semoga bisa menginspirasi saudara-saudara kita yang lain.
Hidayah datang lewat berbagai cara. Seperti yang dialami oleh komedian bule Wahyu Suparno Putro Dale Collin Smith. Pria berdarah Scotlandia namun berkewarganegaraan Australia ini mengaku memeluk Islam lantaran ingin mengerjakan Salat Tarawih setelah ikut berpuasa Ramadan. Berikut kisahnya.


Tahun 1994 saya bekerja di Jogjakarta. Waktu itu saya dikontrak oleh sebuah penerbangan swasta di Indonesia, di bagian manajemen. Saat itu saya belum berkecimpung di dunia seni peran seperti sekarang ini. Kala itu saya beragama Budha. Dalam ajaran Budha kita diharuskan untuk belajar bertoleransi. Selama di Jogjakarta saya banyak bertemu dengan orang-orang yang beragama Islam. Saya kadang suka ikutan puasa bersama mereka saat Ramadan tiba. Alhamdulillah saya puasa full lho selama Bulan Ramadan itu.
Senang bisa puasa dan berbuka puasa bersama-sama mereka. Hanya saja saya merasa ada sedikit yang kurang dalam melaksanakan semua itu. Karena saya tidak bisa menjalani Salat Maghrib dan Salat Tarawih bersama teman-teman saya itu. Apa yang saya kerjakan terhenti begitu waktu berbuka puasa tiba. Hal itu berlangsung sampai tiga tahun lamanya.

Bangun Subuh
Selain itu, saya juga mengalami kejadian yang terbilang berbeda pula. Setiap hari saya selalu terbangun ketika azan Subuh berkumandang. Itu terjadi setiap hari tanpa terkecuali. Peristiwa itu akhirnya saya tanyakan kepada bapak angkat saya. Kebetulan ketika saya mulai tinggal di Jogja, saya bertemu dengan seorang bapak yang akhirnya saya anggap seperti ayah sendiri. Jadi kalau saya ada apa-apa biasanya bertanya kepadanya.
Waktu itu dia menyarankan saya untuk menanyakan hal itu kepada seorang ustadz yang biasa dipanggil Pak Haji, yang tinggal di belakang rumah saya. Saat itu Pak Haji bilang kalau kita terbiasa bangun subuh tanpa memakai jam beker, berarti malaikat mulai dekat dengan kita. Sehingga kita suka terbangun ketika subuh tiba. Dari situlah saya akhirnya mulai banyak belajar tentang Islam.

Lebih Tenang
Saya belajar Al Quran dari Pak Haji. Setelah saya merasa benar-benar mantap, akhirnya saya masuk Islam. Bukan berarti dalam agama Budha saya tidak merasa tenang, tetapi saya merasakan kalau ajaran Budha lebih mirip prinsip hidup daripada agama. Sementara Islam mengajari hubungan vertikal antara hamba dengan Tuhannya. Jadi inilah yang membuat saya merasa cocok dan merasakan adanya ketenangan setelah
mempelajari Islam.


Kalau ditanya, kenapa saya beragama Budha bukannya Kristen. Itu mungkin disebabkan karena saya lebih tertarik dengan Budha. Kebetulan kedua orang tua saya tidak beragama. Mereka menyerahkan urusan agama kepada saya, mana yang saya rasa cocok ya silakan dipeluk. Dulu sewaktu saya berumur sekitar sepuluh tahunan, di sekolah saya banyak mendapatkan cerita tentang Gandhi. Beliau pribadi yang penuh kasih. Dan saya memang menyukai pribadi orang yang seperti itu. Saya tipe orang yang tidak bisa menyakiti orang. Saya tidak menyukai peperangan dan memukul orang. Waktu itu saya berpikir misi Budha cocok untuk saya. Makanya saya pilih Budha (Nyambung nggak ya sama Gandhi ? – amanah).
Tapi selama itu saya merasa ada sesuatu yang kurang dalam jiwa saya. Dan sekarang saya sudah dewasa dan jauh lebih matang. Jadi melihat segala sesuatunya tidak serba hitam putih saja. Namun ada sisi yang lain. Saya tidak langsung menurut dan terpengaruh atas apa yang saya baca. Saya melakukan sesuatu aras panggilan jiwa bukan hitam putih lagi.

Masuk Islam
Saya masuk Islam sekitar tahun 1999 di Jogjakarta, di sebuah mushola di belakang rumah saya. Sewaktu saya berikrar masuk Islam, saya sempat ditanya mengapa saya masuk Islam. Saya jelaskan kalau itu panggilan jiwa saya. Mereke bertanya seperti itu karena di sana baru saja terjadi suatu peristiwa, di mana terdapat suau kelompok orang yang masuk Islam, tapi belakangan diketahui dia masuk Islam dengan tujuan untuk merusak Islam dari dalam. Mereka bertanya apakah apakah saya termasuk kelompok itu. Ya saya jawab bukan, karena saya juga baru mendengar ada kejadian sepert itu untuk pertama kalinya. Saya katakan saya masuk Islam dari hati nurani. Sewaktu saya membaca shahadat saya terharu sekali, sampai menitikkan air mata. Saya merasa seperti ada yang menyentuh kepala saya.


Saya diberi nama muslim Wahyu oleh ayah angkat saya. Waktu itu saya meminta untuk tidak diberi nama Muhammad, karena hampir semua orang bule yang masuk Islam namanya Muhammad. Saya ingin berbeda. Saya juga mencantumkan nama bapak angkat saya Suparno di belakang nama Wahyu, untuk menghormati beliau.

Kebetulan kedua orang tua saya sudah meninggal dunia semua. Jadi saya sudah menganggap beliau seperti orang tua saya sendiri. Mereka tinggal di Jogjakarta saat ini. Setiap lebaran tiba, saya pasti merayakannya bersama mereka. Kini keinginan saya hanya satu, ingin bisa memberangkatkan haji keduanya. Setelah keduanya bisa berhaji, barulah saya mempersiapkan diri untuk berhaji.
Diambil dari kumpulan kisah mualaf tabloid Nurani, yang diterbitkan ke dalam buku Hidayah Allah untuk Para Pendeta, JP Books, Surabaya, Maret 2007.
 
sumber: http://suharyantoharyanto.wordpress.com

0 komentar:

ur coment