Dunia Maya Memesonakannya

Oleh Anung Umar
Ia seorang ikhwan yang iltizam terhadap din. Penghafal Al-Quran yang juga sangat bersemangat dalam mempelajari sunnah Nabi, mempraktekkannya dan mendakwahkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bolehlah sebut dia sebagai aktivis dakwah. Dengan cahaya ilmu dan amal yang menghiasi dirinya, maka tak bisa ditampik lagi, berbagai pujian pun mengalir untuknya. Keluarga, teman-teman dan orang yang mengenalnya memujinya. “Saleh” , “zuhud” , “alim” dan berbagai atribut sanjungan lainnya mereka sematkan untuknya.
Demikianlah keadaannya. Sampai ketika ia telah mengenal internet, di sinilah perubahan itu bermula. Ia yang walaupun latar belakangnya dari sekolah umum, namun sejak mengenal dakwah dan tarbiyah sudah mulai menjaga jarak dari lawan jenis, bahkan terputuslah komunikasi antaranya dengan lawan jenis, kecuali bila darurat atau ada hajat yang perlu ditunaikan. Tatkala ia membuka dan menjelajahi dunia maya, terkesiaplah ia. Ia melihat dunia baru yang belum pernah dikenalnya sebelumnya.

Ia terpana menyaksikan interaksi antara (sebagian) ikhwan dan akhwat di “dunia baru” ini. Kalau hubungan antara (sebagian) ikhwan dan akhwat terasa “dingin” di dunia nyata, namun di dunia maya, justru “kehangatan”lah yang terasa. Sekat yang selama ini membatasi pergaulan Ikhwan-akhwat dalam dunia nyata, seolah-olah tak teraba di dunia maya. Para ikhwan yang selama ini “kaku”, “jaim (jaga image)” di depan akhwat, begitu juga sebaliknya, namun di dunia maya semua itu seakan tinggal cerita. Yang ia saksikan justru “keramahan”: saling menyapa, canda dan curhat mesra. ”Pesona” seperti inilah yang ia saksikan hampir setiap hari di dunia maya. Terlihat “indah” memang. Namun, baginya “pesona” itu hanyalah kamuflase atau fatamorgana yang menipu. Ia tak menghiraukannya. Ia tetap istiqamah dalam ilmu dan amalnya.
Akan tetapi, betapapun jernihnya kaca, bila selalu terkena debu maka akan kusam pula akhirnya. Meskipun ia mengingkari “pesona” yang ada di depan matanya, namun ketika “pesona” itu berulang-ulang disaksikannya sehari-hari, tanpa disadari “pesona” itu meronai benaknya dan bergelayut di hatinya. Jadilah “pesona” itu seakan magnet yang menariknya untuk menghampiri dan menyambutnya. Maka tatkala luapan “pesona” itu telah tertambat kuat di hatinya dan membuncah di dadanya, tak sanggup lagilah ia untuk menjauhinya . Ia pun menghampiri blog-blog para akhwat demi “maslahat dakwah”. Ia buka chatting dengan lawan jenis untuk suatu tujuan yang namanya “hidayah”.

Tak dinyana, ada “kehangatan” tersendiri baginya ketika itu. Maka ia pun makin bersemangat memberikan faidah atau nasehat kepada lawan jenisnya melalui komentar di blog maupun chatting. Demikianlah seterusnya, nasihat demi nasihat selalu mengalir darinya. Setelah berlalu beberapa waktu dilanjutkan dengan “nasihat akrab”: nasihat dengan sedikit canda agar menghilangkan “kekakuan”. Demikian seterusnya. Sampai akhirnya ia mengunjungi blog-blog para akhwat dan chatting dengan mereka hanya sekedar untuk bercanda, mengisi waktu luang dan mengobati kejenuhan.
Tanpa terasa adab-adab berbicara terhadap lawan jenis makin dilalaikan. Ilmu dan amal yang selama ini dikerjakan mulai ditinggalkan. Akhirnya pikirannya dipenuhi dengan “pesona dakwah“ yang dijalankannya. Di hatinya tersemai rindu untuk bertemu dengan “mad’u”nya. Bila satu hari saja tidak memberi “nasehat”, kegalauan mengurung hatinya dan menyesakkan dadanya.
Tak terasa hafalan Al-Qurannya pun terganggu. Kekhusyukannya dalam membaca dan merenungi kitabullah pun mulai luntur. Hari demi hari berlalu terasa makin sulit baginya untuk mentadaburi ayat-ayat Al-Quran yang dibaca atau didengarnya. Ia tidak bisa lagi mencecap manisnya menyelami Al-Quran seperti sebelumnya.
Apa yang salah denganmu, ya akhi? Kenapa hatimu menjadi keras? Mana air mata yang dulu meleleh di wajahmu tatkala ayat-ayat Allah dilantunkan? Mana semangat beramalmu yang dulu membara tatkala hadits Nabi disebutkan? Apa penyebab semua ini, wahai saudaraku?
Internet! Itulah jawaban dari semua pertanyaan tadi. Kamu telah menjadi korban internet. Internet, chatting, facebook dan yang semisalnya telah menjauhkanmu dari cahaya hidayah!
Internet memang merupakan salah satu kenikmatan yang diberikan Allah kepada kita semua di zaman ini. Namun siapa yang menyangka jika kenikmatan ini bisa berubah menjadi kebinasaan tatkala melampaui batas-batas hukum-Nya atau digunakan untuk selain yang diridhai-Nya.
Tak ada yang salah seorang ikhwan ingin mendakwahi atau memberikan faidah kepada akhwat, begitu juga seorang akhwat ingin mendakwahi atau memberikan faidah kepada ikhwan. Namun apa faidah yang ingin kamu sampaikan jika ada “sesuatu” pada hatimu tatkala menasehatinya? Apa faidah yang ingin kamu sampaikan jika pikiranmu membayangkan sosoknya? Apakah kata-kata mesramu itu bisa menunjukkannya pada hidayah? Apakah candamu itu bisa mendekatkannya kepada Allah?
Betul, di zaman salafus saleh memang ada surat-menyurat antara pria dan wanita. Melalui surat, mereka saling menegur, menasehati, memenuhi kebutuhan yang perlu diselesaikan. Akan tetapi, sudahkah kamu menyamai mereka dari sisi ilmu dan ketakwaan? Apakah kamu telah meneladani mereka dalam menjaga adab-adab berbicara terhadap lawan jenismu? Apakah derajat ketakwaanmu telah menyamai mereka sehingga hatimu tak merasakan “apa-apa” tatkala menasihati “mad’u”mu?
Kalau jawabanmu belum, maka tutuplah “keindahan” dan “kerinduan” yang telah kamu rasakan ini. Gantilah itu dengan keindahan tangismu tatkala membaca ayat-ayat Rabbmu. Gantilah itu dengan kebahagiaan hatimu tatkala mempraktekkan sunnah Nabimu. Gantilah itu dengan kerinduanmu untuk bertemu dengan-Nya di akhirat kelak.

Kalau kamu merasa kebiasaan barumu itu sebagai sesuatu yang lumrah dan lazim, apalagi sampai menganggapnya sebagai sesuatu yang perlu diperjuangkan dan tidak semestinya dikekang, maka marilah kamu kami mandikan, kami kafankan, kami shalatkan, lalu kami kuburkan. Karena hatimu sudah beku, sekarat atau mati, meski masih bergerak jasadmu, masih menatap matamu,dan masih berbicara lisanmu. innaa lillahi wainnaa ilaihi raji'un…
Jakarta, 4 Muharram 1432/ 10 Desember 2010
anungumar.wordpress.com

0 komentar:

ur coment

Life Doesn’t Mean To Be Beautiful All The Time

Oleh Endang TS Amir


Saya mengenal seorang ibu yang energik dan selalu ceria. Teringat dahulu, setiap sore, saya melihatnya bermain volley. Atau di tiap minggu pagi, ia selalu ikut senam di kompleks sebelah. Pokoknya, ia terlihat sering beredar untuk kegiatan olahraga, karena hari-hari ia hanya disibukkan mengurus suami dan anak semata wayangnya.
Keadaan berubah, kini tiap hari ia sibuk bekerja sebagai PRT paruh waktu. Istilahnya ia memegang “dua pintu” yang artinya ada 2 rumah yang menjadi tanggungjawabnya untuk diurus. Pagi-pagi ia sibuk mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Jam 07.00 dia bekerja di rumah yang pertama hingga jam 12.00. Kemudian ia pulang sejenak, dan mulai bekerja di rumah yang kedua pada pukul 14.00 siang hingga menjelang maghrib. Itulah rutinitas hariannya kini. Hal itu ia lakukan karena suaminya sakit, kemudian diberhentikan dari tempatnya bekerja.
Suatu hari, aku yang tidak tahu tentang perubahan nasibnya bertemu;
“Assalamu’alaikum, Mama A, mau kemana?” tanyaku.
“Wa’alaikumsalam Bu, saya mau kerja.” Jawabnya sambil senyum-senyum.
“Kerja dimana?” Tanyaku lagi.
“Di komplek . Sekarang saya kerja Bu. Soalnya suami saya sakit, jadi nggak bisa kerja lagi. Saya deh yang gantiin cari duit.” Jawabnya tetap dengan senyum dan tidak terdengar nada mengeluh.
“Ooo, begitu…” jawabku sambil bingung hendak merespon bagaimana atas berita dari Mama A ini.
“Nasib nggak bisa ditebak Bu, sekarang lagi giliran saya. Roda kehidupan khan muter, nggak bisa kalo pengen seneng terus.” Jawabnya lagi.
Subhanallah. Nasibnya berubah. Tapi ada yang tidak berubah. Ibu ini tetap terlihat bahagia dan ceria. Rasa sadar, bahwa keadaan tersebut adalah “jatahnya”. Rasa sadar, bahwa kebahagiaan dan kesedihan disilihpergantikan, membuatnya tidak berduka cita atas nasibnya. Yaa…Life doesn’t mean to be beautiful all the time. Saya bahagia mendengar jawabannya, dibarengi rasa kagum atas kerelaan ibu tersebut menerima nasibnya.
Berapa banyak dari kita yang dapat menyadari hal tersebut? Umumnya kita tahu bahwa, roda kehidupan berputar, kadang dibawah, kadang diatas. Kadang senang, kadang susah. Kadang diberi kelapangan dan kadang diberi kesempitan. Tapi, jika benar terjadi hal yang buruk, siapkah? Jika benar terjadi hal yang menyedihkan, sanggupkah?
Kita semua, lazimnya menginginkan yang terbaik, terindah, terenak dan segala ter-ter yang lain yang menyenangkan. Dan kitapun berharap hal tersebut berlangsung lama dan kalau bisa seterusnya. Salahkah? Tentu tidak. Namanya harapan, pastilah yang terbaik.

Tapi, tengoklah realitas. Merupakan sunnatullah, bahwa segala sesuatu ada pasangannya dan ada masa berakhirnya kecuali Allah SWT. Pernahkan anda mengenal seseorang yang menyatakan bahwa ia tidak pernah merasa bersedih dan tidak mengenal kesedihan? Atau, pernahkah anda mengenal seseorang yang meyatakan bahwa ia tidak pernah merasa bahagia dan tidak mengenal rasa bahagia? Kalau saya tidak. Karena, walau sedikit, walau sebentar, kita pasti merasakan kebahagiaan ataupun kesedihan.
Saya hanya pernah tahu, seseorang yang menurut pandangan saya enak sekali hidupnya. Sebutlah si D. Kalau mendengar riwayat hidupnya, sepertinya ia senang terus. Dari kecil hingga dewasa, ia tidak pernah hidup kekurangan. Apapun yang menjadi keinginan dan impiannya dapat dicapainya. Masalahpun tidak pernah menghinggapinya. Everything going well with her. Semua teman-teman, pada waktu itu, mau banget jadi si D. Waktu berlalu, satu persatu dari kami menikah, dan menyisakan teman saya si D itu, yang belum juga menikah hingga saat ini. Mungkin, kini, tidak satupun dari kami ingin menjadi dirinya. Sekali lagi, life doesn’t mean to be beautiful all the time.
Inilah kehidupan. Ada senangnya, ada susahnya. Namun, beban hidup akan terasa lebih ringan, jika kita yakin akan ada akhirnya. Sementara kemapanan hendaknya membuat kita jadi lebih waspada, agar tidak kaget bilamana masa-masa sulit menghadang. Berusaha mempersiapkan diri untuk yang terburuk. Membekali diri, menyiapkan mental agar dapat tetap berpikir dan bertindak positif jika masa sulit benar-benar datang.
Karenanya, lakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan, dan berharap dengan harapan terbaik yang kita inginkan, seraya memohon kepada Sang Penguasa agar memberi kita ketabahan, kesabaran dan jalan keluar termudah dan tercepat atas segala “kesulitan” hidup yang harus kita jalani.
Walahu’alam.
ummuali.wordpress.com
sumber: eramuslim

1 komentar:

ur coment